Nama
: Yuki Adimahaini
Kelas
: X.6
Jumat, 15 Agustus 2014 | 15:19
Ini Permasalahan yang Dihadapi BPJS Kesehatan
Acara penandatanganan komitmen BPJS
Kesehatan dan 3 bank pemerintah (sumber: Suara Pembaruan/Dina Manafe)
Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
merupakan badan hukum publik yang dibentuk pemerintah untuk mewujudkan
terlaksananya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ditunjukkan bagi
seluruh masyarakat di Indonesia.
Meskipun demikian, aspek
permasalahan kepersertaan menjadi tren tersendiri dan menjadi isu yang hangat
bagi masyarakat. Hal tersebut dikarenakan kurangnya sosialisi terhadap
masyarakat sekitar. Selain itu, kepedulian dan kesadaran masyarakat yang
mendaftarkan diri juga minim.
"Berkaitan dengan kepesertaan,
jika dia telah terdaftar sebelumnya di jamsostek secara formal, maka dia sudah
terdaftar di BPJS Kesehatan, akan tetapi dalam proses pendaftaran, peserta
masih banyak yang belum mendaftarkan dirinya", ujar Chazali H. Situmorang
selaku Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) saat ditemui di Media Center
BPJS Kesehatan, Jakarta (15/8).
"Berbeda halnya dengan status
kepesertaan gelandangan seperti penyakit kusta, pengemis, orang terlantar,
sakit jiwa dan penghuni lapas, jika mereka belum terdaftar dalam BPJS, berarti
mereka tidak mempunyai hubungan dengan BPJS Kesehatan", tambahnya.
Chazali mengatakan, jika dilihat
pada semester pertama ini, diindikasikan belum optimalnya pelayanan terhadap
peserta, adanya pembatasan pemberian obat terhadap penderita penyakit kronis,
rujukan berjenjang dan rujukan berbalik belum memadainya kapasitas fasilitas
kesehatan serta.
"Penerapan tarif INA CBG'S
belum berjalan efektif dan belum ada pengaturan mekanisme CoB," kata
Chazali.
Chazali berharap agar pihak
pemerintahan juga ikut serta dalam meningkatkan kinerja pelayanan dan fasilitas
kesehatan dalam BPJS serta pengaturan mekanisme CoB (Coordination of Benefit)
juga ditingkatkan.
Sedangkan Punawarman Basundoro
selaku Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga mengatakan,
kesadaran masyarakat yang sehat dan mampu sangat kurang, padahal mereka juga
diharuskan dan wajib untuk mendaftar.
Selain itu, aspek pelayanan, manfaat
dan iuran juga terbilang masih kurang baik.
Sumber : Beritasatu.com
Nama : Ria Huljannah
Kelas : X.6
Senin, 05 Januari 2015 | 06:12 WIB
Harga Premium Akan Ikuti Harga
Minyak Dunia
TEMPO.CO,
Jakarta – Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said menyatakan harga jual bahan bakar
jenis Premium (RON 88) akan mengikuti harga jual minyak mentah dunia dan nilai
tukar dolar Amerika Serikat. "Harga Premium akan berlaku harga keekonomian
dan sama seperti halnya Pertamax, akan berfluktuasi," ujarnya kepada Tempo, Ahad, 4 Januari 2015.
Dengan menggunakan formula harga tersebut,
pemerintah tidak lagi memberikan subsidi untuk harga jual Premium. Melalui
kebijakan ini, masyarakat nantinya akan terbiasa dengan harga keekonomian atau
harga pasar.
Namun, meski menggunakan patokan harga minyak dunia dan nilai tukar, pemerintah
tak akan melepaskan 100 persen kepada mekanisme pasar. Pemerintah, kata
Sudirman, masih akan menentukan harga patokan Premium.
Patokan harga jual, Sudirman melanjutkan, diperlukan untuk menjaga kepentingan
masyarakat. Tujuan lainnya adalah meyakinkan postur dan pemanfaatan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang lebih sehat dan produktif.
Selama masa transisi, pemerintah menetapkan harga patokan awal. Minyak tanah
ditetapkan seharga Rp 2.500 per liter, solar Rp 7.250 per liter, dan Premium Rp
7.600 per liter. Harga ini ditetapkan dengan asumsi harga minyak dunia US$ 60
per barel dan kurs Rp 12.300 per dolar AS.
Harga dasar akan ditetapkan pemerintah setiap bulan. Perhitungannya menggunakan
rata-rata harga indeks pasar dan nilai tukar rupiah dengan kurs beli Bank
Indonesia tanggal 25 dua bulan sebelumnya hingga tanggal 24 satu bulan
sebelumnya. Misalnya penentuan harga dasar pada Januari memakai kurs 25
November-24 Desember.
Adapun untuk bahan bakar jenis minyak tanah dan solar, pemerintah akan tetap
memberikan subsidi. Harga minyak tanah akan dipatok di level Rp 2.500 per
liter. Sedangkan harga solar akan diberi subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per
liter.
Pengamat energi dari Universitas Trisakti, Pri Agung Rakmanto, menyarankan agar
pemerintah tak melepaskan harga jual bahan bakar kepada mekanisme pasar. “Harus
ditetapkan pemerintah,” ujarnya.
Pemerintah, kata dia, jangan terpengaruh oleh harga keekonomian. Sebab, jika
harga minyak dunia melonjak dan harga jual bahan bakar menyentuh Rp 15 ribu per
liter, pemerintah bisa menetapkan sendiri harga jual. "Bisa saja
pemerintah menetapkan jadi Rp 10 ribu.”
Ihwal penghapusan subsidi Premium, menurut dia, bisa dilakukan pemerintah
secara bertahap. Waktu dua tahun yang diberikan pemerintah kepada PT Pertamina
untuk memperbaiki dan membangun dinilai wajar. Rentang waktu tersebut bisa
digunakan pemerintah untuk menghapus subsidi sambil menunggu Pertamina
memproduksi bahan bakar dengan RON di atas 88.
Direktur Eksekutif Institute for the Development of Economics and Finance Ahmad
Erani Yustika mengingatkan pemerintah soal kebijakan penghapusan subsidi
Premium. Sesuai dengan Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi, harga jual
bahan bakar minyak tidak melewati harga pasar atau harga keekonomian. Jadi,
berapa pun subsidi harus diberikan oleh pemerintah. "Kalau mau, ya, revisi
undang-undang biar tidak ada lagi subsidi," ujarnya kemarin.
Sumber : Tempo.com