Malinda Dee Divonis 8 Tahun Penjara
JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis hakim di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan menjatuhkan vonis delapan tahun penjara kepada Inong Malinda
Dee binti Siswo Wiratmo (49). Majelis hakim yang diketuai Gusrizal dalam sidang
di ruang sidang utama PN Jaksel menilai terdakwa Malinda terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana perbankan dan pencucian uang yang
didakwakan kepadanya.
"Menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Inong Malinda Dee binti
Siswo Wiratmo hukuman penjara selama delapan tahun dan denda sebesar 10 miliar
rupiah," kata Ketua Majelis Hakim Gusrizal membacakan putusan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (7/3/2012).
Hakim menilai seluruh dakwaan yang dikenakan kepada mantan Relationship
Manager Citibank itu terbukti secara sah dan meyakinkan. Empat dakwaan yang
dikenakan kepada Malinda terdiri atas dua dakwaan terkait tindak pidana
perbankan, yaitu dakwaan primer Pasal 49 Ayat (1) huruf a UU Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
juncto
Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP
jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP serta dakwaan
subsider pertama, Pasal 49 Ayat (2) huruf b UU No 7/1992 sebagaimana telah
diubah dengan UU No 10/1998 tentang Perbankan
juncto Pasal 55 Ayat (1)
ke-1 KUHP
jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Malinda juga dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian
sebagaimana disebutkan dalam dakwaan subsider kedua Pasal 3 Ayat (1) Huruf b UU
No 15/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP dan dakwaan subsider ketiga Pasal 3 UU
No 8/2010 tentang Pencegahan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
jo Pasal
65 Ayat (1) KUHP.
Putusan majelis hakim berselisih lima tahun dengan tuntutan jaksa. Hal yang
meringankan terdakwa dalam pertimbangan hakim adalah terdakwa masih memiliki
anak-anak yang membutuhkan asuhan orangtua. Sementara itu, hal yang
memberatkan, antara lain, adalah Malinda dianggap berbelit-belit dalam
menyampaikan keterangan di persidangan.
Kasus
Suap Penanganan Sengketa Pilkada Akil Mochtar yang Menggurita
JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus korupsi yang dilakukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil
Mochtar telah menggurita. Akil pun diganjar hukuman seumur hidup karena
menerima suap dan gratifikasi terkait penanganan belasan sengketa pilkada di
MK, serta tindak pidana pencucian uang.
Bahkan, menurut jurnalis senior Harian Kompas yang
menulis buku "Akal Akal Akil", Budiman Tanuredjo, kasus korupsi Akil
merupakan salah satu skandal terbesar sepanjang sejarah peradilan Indonesia.
Belum pernah terjadi seorang hakim yang juga Ketua MK masuk penjara gara-gara
terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang yang melibatkan uang sampai
ratusan miliar rupiah. Tertangkap tangan pula.
Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi menyatakan, Akil
terbukti menerima suap sebagaimana dakwaan pertama, yaitu terkait penanganan
sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp 3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp 3
miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp 1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp 10
miliar dan 500.000 dollar AS), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp 3
miliar).
Hakim juga menyatakan bahwa Akil terbukti menerima suap
sebagaimana dakwaan kedua, yaitu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Buton (Rp 1
miliar), Kabupaten Pulau Morotai (Rp 2,989 miliar), Kabupaten Tapanuli Tengah
(Rp 1,8 miliar), dan menerima janji pemberian terkait keberatan hasil Pilkada
Provinsi Jawa Timur (Rp 10 miliar).
Akil juga terbukti dalam dakwaan ketiga, yaitu menerima
Rp 125 juta dari Wakil Gubernur Papua periode tahun 2006-2011, Alex Hesegem.
Pemberian uang itu terkait sengketa Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat,
Kabupaten Boven Digoel, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga.
Sejumlah kepala daerah dan juga pihak swasta turut
terseret dalam pusaran kasus Akil. Sebut saja, Gubernur Banten Atut Chosiyah
dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Keduanya terbukti menyuap Akil
terkait sengketa Pilkada Lebak. Kini keduanya telah divonis penjara, empat
tahun untuk Atut dan lima tahun untuk Wawan.
Berikut kasus sengketa Pilkada di MK yang dijadikan
"proyek" oleh Akil, yang tengah disidik KPK mau pun yang masih
"hangat" di pengadilan Tipikor:
1. Sengketa Pilkada
Lebak
Jatuhnya vonis terhadap Gubernur Banten Atut Chosiyah
dan Adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan tidak lantas membuat kasus
sengketa Pilkada Lebak di MK ditutup. KPK mengembangkan penyidikan terhadap
kasus ini sehingga menyeret mantan kandidat Pilkada Lebak 2013, yaitu Amir
Hamzah dan Kasmin sebagai tersangka.
Amir dan Kasmin diduga bersama-sama Atut dan Wawan
menyuap Akil untuk memengaruhinya dalam memutus permohonan keberatan hasil
Pilkada Lebak yang diajukan pasangan tersebut. Dalam Pilkada Lebak, Amir-Kasmin
kalah suara dengan pesaingnya, pasangan Iti Oktavia Jayabaya-Ade Sumardi. Atas
kekalahan itu, Amir mengajukan keberatan hasil Pilkada Lebak ke MK. Adapun Susi
Tur Andayani merupakan kuasa hukum Amir-Kasmin.
2. Sengketa Pilkada
Tapanuli Tengah
KPK menetapkan Gubernur Tapanuli Tengah Bonaran
Situmeang sebagai tersangka pada 19 Agustus lalu. Dalam amar putusan majelis
hakim Pengadilan Tipikor, Akil terbukti menerima suap terkait dengan Pilkada
Tapanuli Tengah sebesar Rp 1,8 miliar. Diduga, uang yang berasal dari Bonaran
itu disetorkan ke rekening perusahaan istrinya, CV Ratu Samagat, dengan slip
setoran ditulis "angkutan batu bara".
Pemberian uang diduga untuk mengamankan posisi Bonaran
yang digugat di MK setelah dinyatakan menang oleh KPUD Tapanuli Tengah. Pilkada
Kabupaten Tapanuli Tengah dimenangi oleh pasangan Raja Bonaran dan Sukran
Jamilan Tanjung. Namun, keputusan KPUD tersebut digugat oleh pasangan lawan.
Selanjutnya, pada 22 Juni 2011, permohonan keberatan
hasil Pilkada Tapanuli Tengah ditolak sehingga Bonaran dan Sukran tetap sah
sebagai pasangan bupati dan wakil bupati terpilih. Meski demikian, Akil
sebenarnya tidak termasuk dalam susunan hakim panel. Panel untuk sengketa
pilkada saat itu adalah Achmad Sodiki (ketua), Harjono, dan Ahmad Fadlil
Sumadi.
3. Sengketa Pilkada
Palembang
Wali Kota non-aktif Palembang Romi Herton dan istrinya,
Masyito, didakwa secara bersama-sama menyuap Akil sebesar Rp 14,145 miliar.
Romi dan asangan kandidatnya, Harno Joyo, mengajukan gugatan terhadap hasil
Pilkada Palembang dan meminta l Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palembang dibatalkan. Hasil
Pilkada Palembang menyatakan bahwa pasangan Romi-Harno kalah suara dari
pasangan Sarimuda-Nelly Rasdania dengan selisih 8 suara.
Dalam sidang putusan perkara sengketa Pilkada Palembang
yang digelar 20 Mei 2013, majelis hakim yang diketuai Akil mengabulkan
permohonan Romi untuk membatalkan Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palembang. Putusan tersebut
membatalkan unggulnya pasangan Sarimuda-Nelly Rasdania dan menyatakan
Romi-Anwar memenangkan Pilkada Palembang.
Keterangan Tidak Benar
dalam Sidang Akil
Selain kasus suap dan pencucian uang, orang-orang yang
terlibat dalam pusaran korupsi sengketa Pilkada Akil juga berusaha menutupi
kesalahan sejumlah pihak dengan memberi keterangan tidak benar dalam
persidangan. Hal tersebut terjadi dalam kasus suap penanganan sengketa Pilkada
Palembang.
Selain menyuap Akil, Romi dan Masyito pun disebut
memberi keterangan palsu dalan persidangan. Bahkan, orang dekat Akil bernama
Muhtar Ependy dianggap memengaruhi saksi di persidangan dan mengarahkan saksi
untuk memberi keterangan seperti yang diperintahkan.
1. Wali Kota Palembang
Romi Herton dan istrinya, Masyito
Wali Kota nonaktif Palembang Romi Herton dan istrinya,
Masyito, didakwa memberikan keterangan palsu dalam sidang Akil pada 27 Maret
2014, terkait perkara tindak pidana korupsi terkait sengketa Pilkada di MK dan
tindak pencucian uang.
Orang dekat Akil yang bernama Muhtar Ependy berperan
mengarahkan keterangan Romi dan Masyito selaku saksi untuk mengaburkan fakta di
persidangan. Muhtar menyuruh keduanya untuk mengaku tidak mengenal Muhtar dan
tak pernah menyerahkan sejumlah uang kepada Akil melalui Muhtar.
Padahal, keterangan saksi lainnya di sidang Akil dan
sejumlah alat bukti memperkuat fakta persidangan bahwa Romi dan Masyito menyuap
Akil melalui Muhtar.
Romi dan Masyito juga dipaksa mengaku tidak pernah
memesan atribut pilkada di PT Promic Internasional milik Muhtar. Padahal,
keduanya memesan atribut Pilkada di PT Promic Internasional dengan bukti
tagihan kepada Romi serta barang bukti berupa produk yang dipesan Romi dan
Masyito.
2. Pengusaha bernama
Muhtar Ependy, teman dekat Akil
Muhtar Ependy, wirausahawan yang merupakan orang dekat
Akil didakwa secara sengaja merintangi proses pemeriksaan di pengadilan
terhadap saksi dalam perkara korupsi. Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan
Korupsi menyatakan, Muhtar memengaruhi keterangan sejumlah saksi dalam
persidangan Akil.
Dalam surat dakwaan, Muhtar disebut memengaruhi Romi
dan Masyito, yang dihadirkan dalam sidang Akil. Muhtar meminta keduanya untuk
bersaksi bahwa tidak mengenal Muhtar dan tidak pernah bersama-sama datang ke
Bank Kalbar cabang Jakarta untuk menyerahkan sejumlah uang.
Muhtar juga memengaruhi supirnya yang bernama Srino
agar tidak mengakui pernah mengantar Muhtar ke rumah Akil di kawasan Pancoran
untuk menyerahkan sejumlah uang.
Padahal, berdasarkan keterangan saksi lainnya dari Bank
Kalbar Cabang Jakarta yaitu Iwan Sutaryadi, Rika Fatmawati, dan Risna
Hasrilianti, dinyatakan bahwa Srino pernah mengantar Muhtar ke bank tersebut
untuk mengambil uang tunai senilai Rp 3 miliar dalam bentuk dollar Amerika
untuk diantar ke rumah Akil.
Muhtar lantas menghubungi Iwan untuk mencabut seluruh
keterangannya dalam berita acara pemeriksaan dan menggantinya dengan keterangan
baru yang tidak benar. Muhtar pun meminta Iwan untuk menyampaikan kepada Rika
dan Risna untuk melakukan hal yang sama. Sehingga pada saat bersaksi di sidang
Akil pada 24 Maret 2014, Iwan, Rika, dan Risna kompak menjawab tidak ingat
pernah melihat kedatangan Masyito ke Bank Kalbar Cabang Jakarta atau pun
mengenali Masyito.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar