Senin, 26 Januari 2015

Contoh Kasus Tindak Pidana



Pengadilan Tinggi Kuatkan Vonis Miranda

 
[JAKARTA] Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, dalam putusan bandingnya menguatkan putusan Pengadilan Tipikor, Jakarta, terkait kasus suap cek pelawat dengan terdakwa eks Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI) Miranda Swaray Goeltom.

"Putusan banding No. 56/PID/TPK/2012/PT.DKI atas nama Miranda Swaray Goeltom tertanggal 13 Desember 2012, menguatkan putusan Pengadilan Tipikor, Jakarta," kata Humas PT DKI, Ahmad Sobari ketika dikonfirmasi, Rabu (23/1).

Dalam pertimbangannya, Majelis hakim yang memutus banding perkara Miranda menilai bahwa Majelis hakim tingkat pertama telah melakukan penilaian terhadap fakta-fakta hukum dengan cermat atau berdasarkan bukti yang cukup sah.

Selain itu, Hakim yang terdiri dari Achmad Sobari sebagai ketua, Asnahwati, Moch. Hatta, HM As'adi Al Ma'ruf dan Sudiro sebagai hakim anggota menilai bahwa tidak ada hal baru dalam memori banding yang diajukan kubu Miranda. Sehingga, tidak dapat membatalkan putusan Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Atas dasar tersebut, vonis Miranda tetap tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.

Seperti diketahui, setelah mendengar vonis Majelis Hakim tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta atas kasus cek pelawat, Miranda Swaray Goeltom mengaku kaget, dan dengan tegas langsung menyatakan akan naik banding.

"Saya kaget. Saya tidak menyangka. Saya tahu, saya tidak berbuat apa-apa. Dan Tuhan tahu, saya tidak berbuat apa-apa. Maka saya akan naik banding," tegas Miranda dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (27/9).

Dalam sidang pada Kamis (27/9/2012), Miranda Swaray Goeltom divonis dengan pidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp 100 juta. Sebab, dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.

"Memutuskan, menyatakan terdakwa Miranda Swaray Gultom bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwan pertama, Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," kata Ketua Majelis Hakim, Gusrizal saat membacakan putusan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (27/9).

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim mengatakan bahwa Miranda terbukti memberikan sesuatu, berupa cek pelawat. Sehingga, dirinya terpilih sebagai DGS BI periode 2004-2009 dari hasil pemungutan suara di Komisi IX DPR RI pada tanggal 8 Juni 2004.

"Menurut keterangan Agus Condro, Tjahjo Kumolo sebelum pemilihan DGS BI telah dilakukan pertemuan antara terdakwa dengan fraksi PDI-P di Hotel Dharmawangsa. Dan terdakwa juga bertemu dengan fraksi Tni/Polri di kantornya Graha Niaga," kata hakim anggota Anwar saat membacakan pertimbangan.

Kemudian, lanjut Anwar, tanggal 8 Juni 2004 telah dilakukan fit and proper test di Komisi IX DPR RI. Dan saat uji kelayakan tersebut, saksi Dhudie Makmun Murod, Endin J Soefihara, Udju Djuhaerie dan Hamka Yandhu menerima amplop berisi cek pelawat.

Setelah proses penerimaan cek pelawat tersebut, menurut Anwar, terdakwa memenangkan pemilihan suara di Komisi IX DPR RI dan terpilih sebagai DGS BI tahun 2004.

"Jika dihubungkan dengan locus delicti (tempat perkara) dan tempus delicti (waktu kejadian perkara) maka terbukti adanya rangkaian bahwa saksi yang dihadrikan di persidangan sudah terbukti menerima dan sudah divonis. Dengan demikian unsur memberikan sesuatu telah terbukti dilakukan terdakwa Miranda," ungkap Anwar. (N-8)

Mahkamah Agung Vonis Nazaruddin 7 Tahun Penjara 

 

Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi terdakwa kasus dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet Palembang, M.Nazaruddin. Putusan ini juga mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK).

Kepala biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur di Jakarta Rabu (23/1) menjelaskan putusan MA ini memperberat hukuman Nazaruddin yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, yaitu empat tahun 10 bulan penjara menjadi tujuh tahun penjara. Selain itu, dalam putusannya, MA juga memberikan hukuman denda Rp 300 juta kepada Nazaruddin.

"Mengadili, menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi 2 Muhamad Nazaruddin. Mengabulkan permohonan dari pemohon kasasi 1 jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Membatalkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tinggi Jakarta no 31/PIT/TPK/2012-PT DKI TANGGAL 8 Agustus 2012, yang telah menguatkan putusan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 20 april 2012. Mengadili sendiri, menyatakan terdakwa Muhamad Nazaruddin terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Menghukum terdakwa pidana penjara tujuh tahun dan denda Rp 300 juta," Ridwan Mansyur.

Ridwan Mansyur menambahkan, dalam putusan kasasi itu juga menjelaskan, apabila denda Rp 300 juta tidak dibayar, dapat diganti pidana penjara selama enam bulan. Putusan kasasi itu menurut Ridwan, diambil pada Selasa (22/1), dengan Majelis Hakim kasasi yang diketuai Hakim Agung Artidjo Alkostar dengan dua anggota majelis, yakni Hakim Agung Mohammad Askin dan Hakim Agung MS Lumme.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku menerima putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terkait kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin. Ketua KPK Abraham Samad kepada VOA berharap vonis terhadap terdakwa kasus korupsi seharusnya bisa diperberat supaya ada efek jera terhadap koruptor.

"Ya sebenarnya KPK sebagai institusi penegak hukum, kita berharap vonis-vonis bukan hanya untuk Nazaruddin, tapi semua vonis-vonis kasus korupsi itu harusnya bisa dilihat dalam kerangka lebih mengakomodir rasa keadilan masyarakat. Artinya bahwa kasus-kasus korupsi itu harusnya vonisnya diperberat. Supaya ada efek jera yang diberikan bagi para koruptor," Abraham Samad.

Abraham Samad menambahkan, KPK terus membangun komunikasi dengan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial agar ada kesepahaman dalam melihat kasus korupsi dalam konteks yang lebih luas.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 20 April 2012 menjatuhkan pidana empat tahun sepuluh bulan penjara dan denda Rp. 200 juta kepada Nazaruddin. Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang menuntut Nazaruddin dengan pidana penjara selama tujuh tahun. Di persidangan, mantan bendahara umum partai Demokrat itu terbukti menerima suap Rp 4,6 miliar. Nazar juga dinilai memiliki andil membuat PT DGI menang lelang proyek senilai Rp. 191 miliar di Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar